Selembar Pengakuan

  • 0

*ceritanya seorang TKI sedang mengikuti tes perekrutan Supir Taksi di Jepang
(percakapan dalam bahasa indonesia)
A: Boleh saya lihat berkas-berkas anda?
B: Baik pak, ini berkas-berkas saya (dengan muka pede)
A: (mengecek berkas-berkas) Baik, silahkan anda lakukan test drive 5 ment lagi
B: Siap, pak. Bapak sudah lihat kan, saya sudah dapat sertifikat pengemudi terbaik dari Indonesia
A: Iya, saya sudah lihat. Saya juga senang seandainya anda bisa bergabung.
(waktunya test drive. TKI tersebut pun mengendarai mobil taksi seperti yang biasa dia lakukan di Indonesia, dia yakin bisa diterma karena dia sudah punya sertifikat yang diakui Internasional. Senyumnya terlihat mantap sekali. Setelah test drive selesai, ia pun kembali menemui petugas tadi)

A: Bagaimana pak?
B: Maaf, kami belum bisa menerima anda. Silahkan anda coba lagi di lain kesempatan. Terimakasih sudah menyempatkan waktunya.
A: (kaget) kenapa pak? saya kan sudah punya sertifikat internasional, bapak lihat sendiri kan, itu asli
B: Kami sangat menghargai prestasi anda, sertifikat itu bisa sangat membantu, tapi sesuai prosedur kami harus melihat hasil dari test drive. Dan menurut kami, anda belum layak, anda bisa membahatakan penumpang kami
....
**
Manakah yang akan kita pilih, makanan basi yang kotor dan berjamur meskipun mendapat sertifikat standar kesehatan, atau makanan terbaik yang bersih dan segar walaupun tidak ada sertifikatnya?
**
Kalau kita mengandalkan "pengakuan" baik itu dari orang lain, instansi, atau lembaga
Tandanya kita kurang Percaya diri dengan kemampuan kita

Ketika sekolah, kita mengandalkan Ijazah sebagai bukti pengakuan akan kepandaian kita, yang belum tentu itu mewakili keadaan kita sebenarnya.
Bisa saja sebenarnya kita lebih pandai dari yang tercantum di Ijazah.
Ironisnya, kita mati-matian supaya mendapatkan "pengakuan" akan kepandaian kita, hingga berbuat curang kalau perlu malah membeli ijazah itu.

Begitu juga ketika kita akan mengendarai kendaraan, kita harus memiliki izin terlebih dahulu, harus ada "pengakuan" atas kesiapan dan kemampuan kita untuk mengemudi. Ya, kita harus punya SIM

Tidak sedikit dari kita yang kemudian melakukan berbagai cara untuk mendapat "pengakuan" tersebut, demi bisa mengendarai kendaraan.

Sayangnya, kita lebih fokus mengejar "pengakuan" itu, tanpa melihat kemampuan kita, yang mungkin belum sepenuhnya siap untuk mengemudi.

Serangkaian tes dan aturan yang dibuat sesungguhnya bukan bermaksud menghalangi keinginan kita untuk bisa mengemudi, tapi itu juga bentuk pengertian bahwa kita semua menginginkan suasan a berkendara yang aman dan kondusif. Untuk mewujudkan itu, masing-masing pengemudinya harus dipastikan benar-benar siap dan mampu mengemudi dengan baik.

Pentingkah pengakuan bahwa kita mampu mengemudi sementara kita sendiri belum siap mengemudi dengan baik?
Penting mana pengakuan dengan kemampuan sebenarnya?

Sayang sekali kalau kita hanya menilai kemampuan kita dari sekedar "pengakuan" dalam bentuk selembar kertas yang harganya tidak seberapa.

Bukan bermaksud menyepelekan "pengakuan" itu, hanya saja, kita terlalu bernilai untuk ditukar dengan sekedar "pengakuan" itu. Tanpa "pengakuan" itu pun, kita sudah luar biasa.

Semangatnya akan beda, ketika kita bertindak yang terbaik sesuai kemampuan kita, dengan semata-mata hanya mencari "Pengakuan"

Mungkin kita semua sama, pernah menjadikan "pengakuan" itu segala-galanya, dan akan melakukan apapun untuk mendapatkannya.

Tapi ketika kita sudah mendapatkannya, berapa banyak kita kecewa karena "pengakuan" itu justru tidak mendapatkan pengakuan jujur dari diri sendiri.

Kita tidak butuh pengakuan orang lain untuk jadi hebat, yang dibutuhkan adalah kepercayaan diri dan pengakuan kepada diri sendiri.

-IFR-

Selembar Pengakuan
Bandung, 14 Desember 2012

Popular posts