Bandung, tahun Kedua
Bidadariku
Hari ini aku menyapamu, tepat setahun setelah kejadian itu.
Tidak, bukan dengan nama atau teguran
Karena aku tidak sanggup bertemu denganmu, sungguh tidak mudah bagiku
Terpisah jarak yang begitu jauh, hanya tulisan yang mengantarku padamu
Hanya dengan tulisan, kadang beberapa huruf, kuhampiri lembar catatanmu
Mungkin kau lupa, atau memang tidak pernah ingat.
Bahwa aku pendengar setiamu
Lewat tulisan, aku mengenalmu
Entah mungkin begitu juga denganmu
Setiap goresan pena yang kau buat, tak pernah sekalipun terlewat
Setiap coretanmu menjadi lukisan tersendiri di dalam hatiku
Membaca baris demi baris ketulusan, kejujuran dan kesungguhan
Menyadarkanku akan berbagai hal dalam kehidupan
Setiap kali ada tulisanmu yang baru
Satu, dua, tiga orang membaca lembaranmu
Puluhan pasang mata bertemu
Mereka tersihir, mengharu biru
Beberapa dari mereka bahkan menangis, terharu dibuatmu
Penulis hebat pun cemburu
Dan ketahuilah, satu dari mereka adalah aku
Maka aku pun begitu
Dalam setiap sujud panjangku
Kuselipkan namamu dalam bait doaku
Kadang ku malu
Merasa tak pantas bersanding denganmu
Aku pun pergi menjauhimu
agar hadirku tak menodaimu
Bersembunyi dalam ruang semu
Seperti lupa akan diriku
Aku berharap suatu saat kita kan bertemu
Saat dimana aku menjadi yang terbaik untukmu, dan engkau adalah yang terbaik untukku
Meski kita tak pernah tahu, kapankah itu
Berjuang penuhi janji bersatu, berdamai dengan waktu
Bidadariku, maafkan aku yang selalu merindu
Meski tiada kata terucap dihadapmu
Namun doaku selalu ada di belakangmu
Inilah caraku mencintaimu
Kota Tua Beraroma Coklat, 20072011
Ketika Rindu itu Menyapamu
Ketika rindu itu menyapamu
Diam dan membisu menghampirimu
Mematung, tertahan dalam pelukan waktu
Karena ia rindu, yang perlahan memburu
Dalam diamnya waktu, kita melukis siluet rindu
Dari sebutir embun, kemudian awan
Terkadang tenggelam dalam harapan
Bersama impian dalam kanvas berwarna biru
Negeri Punggung Awan,
5 Juni 2013 - 11:25
Diam dan membisu menghampirimu
Mematung, tertahan dalam pelukan waktu
Karena ia rindu, yang perlahan memburu
Dalam diamnya waktu, kita melukis siluet rindu
Dari sebutir embun, kemudian awan
Terkadang tenggelam dalam harapan
Bersama impian dalam kanvas berwarna biru
Negeri Punggung Awan,
5 Juni 2013 - 11:25
Subscribe to:
Posts (Atom)
Categories
inspirasiana
(41)
puisi
(33)
hikmah
(29)
sajak
(28)
perjalanan
(26)
renungan
(11)
langit bumi
(9)
mimpi
(8)
pemuda
(8)
introspeksi
(6)
poetry
(5)
reblog
(5)
#GamusStory
(4)
hujan rindu
(4)
kultwit
(3)
kutipan
(3)
nikah
(3)
pelajaran
(3)
InspirasiMM
(2)
MyDreamSeries
(2)
jejak pena
(2)
punggung awan
(2)
selftalk
(2)
TourBandungGresik
(1)
fiksi
(1)
Popular posts
-
[on Sunday, June 20, 2010 at 4:00pm] Assalamu alaikum.. Adikku tersayang.. Ku tulis ini sebagai permintaan maaf dan salam perpisahan Sebelu...
-
H ari ini hari yang bersejarah A wal dari perjuangan yang tak kenal lelah R emaja Indonesia telah bersumpah I ndonesia ku tidak untuk ter...
-
Dalam kesakitan teruji kesabaran. Dalam perjuangan teruji keikhlasan. Dalam ukhuwah teruji ketulusan. Dalam tawakal teruji keyakinan Hi...
-
Lelah Aku pun marah Pada suara-suara yang memerahkan telinga Pada bisikan yang mengusik jiwa Aku marah pada diriku yang tidak bisa...
-
Tak perlu banyak bicara, hanya berbagi dan biarkan imajimu mengartikannya sendiri, seperti diamnya langit dan bumi penuh makna yang menarik ...