Plug n Read, Mind Reading Device

  • 0
Every morning, i wake up and looking at myself in the mirror just to come up with conclusion that i'm not Toby Logan who can read my own mind. I wish that i could read my own mind, at least once.

I had a problem, really serious problem –for me, at least. It was started since my late 13, when i had difficulties to express my feelings and said things that came up to my mind. For instance, when i was having lot of things to discuss with my friend, or needed to talk about something to my parents,  nothing came out from my mouth, only a whisper of silence.

That drove me crazy and finally i end up with myself crying in my bed, blaming myself for being so stupid, and sometimes feeling sorry for people because i was so stupid that i always keep silence while hoping that somebody will understand what I've been thinking. At least, what i need is that someone approach me and asking what happened, it’s that simple. Unfortunately, nobody happened to do that. “Why don’t they understand??”, that was the question i always been address to myself. So Selfish, right?

The good thing is, it was slowly changed after several years of joining school organization and various activities, that teach me a lot of how to communicate with others and expressing my opinions through discussions and presentations. That helped a lot, but still the main problem remains, not all ideas can come up to the real world.

Solving problems and analyzing things, that’s different story. When i was concerning on something, to cope with my analysis, I also  have a lot of visual flying around my head, and somehow feeling the sensation of particular occurrence. It can be an event happened today, or something that i didn't remember that it was really happened.

Other than visuals, i also heard voices. Can be from my own voices, or another person’s voices. I may have little conversation with my self, i called it ‘virtual me’. That gives advises, opinions, or sometimes yelled me out for some reasons. Frankly speaking, i’m used to talk to myself, like i talk to another person. I really ‘heard’ that conversation, just like how people talks. I can notice the tones, loudness, expression, etc. Just like normal conversation, but the difference is that it takes place in my own head.

Well, that’s only a part of the story. For the time being, I've been able to manage that situation, by trying to speaking it loud and recording it. –Of course when there’s nobody around.  Sometimes, i write it down on my cellphone or my computer. Not really worked it out, but at least it can save most of the information.

The problem is, every time i want to say or write down what i was thinking, it start to disappear by the time I transferred the words outside of my brain. Like writing down a running text news, you’ll missed some words that you didn't notice while you’re writing, Well, it’s not always have to be words, it can also be in a form of images, visuals, even voices, running text, or sense of feeling that i unable to describe. Voices and text would be easy, but images and feeling? Uh-oh.. diffiicult.

I always been thinking about the possibility that i can record those conversation, so that i can recall to it anytime, and if it’s necessary, other people can follow it too. Isn't it beneficial, that i can share my thoughts before it’s gone and reside as a atomic memory?

I wonder if somehow, there would be a device that can ‘fetch’ messages inside my brain, and pull it out to the external world. Like the one i saw on movie, by putting helmet-look-like thing, then connect it to a computer, and start reading the brain memory. Plug n Read, suppose.
I wonder it might be wonderful that i can type directly from my brain, by thinking out inside, without having to grab a pencil or type it on my notebook. Just straight from my head. Or, i can generate a nice short movie from my own imagination, without having to use expensive and high-end animation software. Not to mention the long time needed for rendering and movie format compression.

That would be great i think, since we can build up a story or books faster than writing it up manually. Rather than keep losing the ideas while writing or saying it, i’d rather think of it and let the device type it for me. Let your ideas flows, and never afraid of losing it. You decide what to do next, later on. Wonderful, right?

February 24, 2014 20:55
–Would it be happen in 2055? Hope So :D

*Maaf jika tulisan kali ini ditulis dalam bahasa inggris. entah kenapa terkadang saya lebih nyaman menyampaikan hal yang berkaitan dengan perasaan dengan menuliskannya dalam bahasa inggris. Mungkin karena terbiasa nonton film luar kali ya, hehe. Boleh kan? sekalian belajar bahasa inggris juga :D

#GamusStory(2): Dewasa Sebelum Waktunya

  • 0
Juli 2010Saya yang belum genap satu minggu menginjakkan kaki di kampus ini, tentu saja penasaran dan ingin menjelajah kampus yang nantinya akan jadi salah satu tempat bersejarah dalam hidup. Saya pun penasaran dan ingin menjelajah kemana-mana. Akhirnya cari-cari info biar nambah wawasan.

Awalnya cukup sulit mendapat informasi di kampus 'elit' ini (kalau tidak boleh disebut terpencil), kampus Setiabudhi yang letaknya di pinggir jalan besar dan hanya berupa gedung 3 lantai, lebih mirip seperti tempat kursus (that's what they said) karena memang jumlah mahasiswanya yang sedikit, hanya sekitar 60 orang (saat itu). Terlebih setelah kepindahan mahasiswa FMDK (yang kemudian berubah menjadi SKM) yang dulunya menghuni kampus ini dengan beragam aktifitasnya, menuju kampus dayeuhkolot, praktis sumber informasi pun ikut berpindah dan akses informasi menjadi sedikit terkendala. Kalau ada apa-apa harus pergi ke kampus Gegerkalong dulu. Tapi bersyukur akhirnya saya jadi tahu banyak info kegiatan kampus dari kunjungan rutin saya ke kampus Gegerkalong.

Rencana Allah memang indah, keinginan saya yang cukup besar untuk bergabung dengan GAMUS pun dijawab oleh Allah tidak lama setelah hari pertama kuliah.  Tepatnya tanggal 6 Juli 2010. Meskipun informasi cukup jarang dan saya pun belum mengenal siapa-siapa kala itu (selain teman sekelas tentunya), informasi tentang kajian GAMUS pun akhirnya saya dapat, entah dapat info dari mana, saya tahu kalau GAMUS ngadain kajian, ya udah saya ikutan.

Masjid al-Murosalah, saksi pertemuan pertama dengan GAMUS (Foto: Afdilla Gheivary)

Sabtu, 10 Juli 2010 - Masjid al-Murosalah Telkom Learning Center menjadi saksi pertemuan saya dengan keluarga baru saya di Bandung. Bukan, bukan ketemu dengan keluarga seorang akhwat alias saya melangsungkan akad nikah, tapi sebuah pertemuan dengan keluarga muslim IM Telkom (GAMUS). Keluarga yang sejak sebelum kuliah sudah saya impikan dan nantikan. Hari itu, atas kehendak Allah, saya pun dipertemukan dengan kakak-kakak dari GAMUS dalam sebuah Kajian, yang saat itu masih dalam suasana Isra' Mi'raj.

Pagi harinya, saya bersiap untuk berangkat menuju Kampus Gegerkalong, kurang lebih sekitar 90 menit waktu tempuh dari tempat paman saya di Ujungberung, yang kala itu menjadi tempat tinggal saya sementara selama saya kuliah di Bandung. Paman pun sempat heran, libur gini kok pagi-pagi mau ke kampus, saya pun memberitahu bahwa saya mau ikut pengajian, dan paman pun mengijinkan.

Jarak yang jauh tak menghalangi niat saya untuk datang ke kajian itu, sekalipun jalanan macet dan berdebu, saya tetap semangat untuk pergi kesana, karena saya sangat ingin bergabung dan bertemu dengan keluarga baru. Sesampainya disana, saya memarkir motor di kampus dan kemudian berjalan ke Masjid Murosalah, tempat diadakannya kajian, sendirian, ngga tahu apa-apa. Jam menunjukkan pukul 10.15, nampaknya saya terlambat karena acara dimulai pukul 09.00.

Ruang Akuarium, ruang serbaguna Masjid Murosalah. Tempat diadakannya kajian.

Sempat kebingungan mencari pintu masuk masjid itu, karena sebagian besar terbuat dari kaca, dan sekilas sulit dibedakan mana jendela mana pintunya. Saya coba buka salah satu pintu, ternyata dikunci. Sembari berjalan saya melihat kakak-kakak itu sedang mengikuti kajian, saya pun menjadi agak sungkan dan hampir tidak jadi masuk. Tapi saya ingat, untuk apa saya jauh-jauh datang kesini kalau tidak jadi ikut? Akhirnya saya pun menemukan pintu masuknya setelah berjalan memutari masjid itu. Untunglah rasa takut sedikit berkurang karena pintunya berada cukup jauh dari kerumunan dan saya pun masuk dari belakang tanpa terlihat mencolok.

Saya yang saat itu masih cupu dan polos, tidak menyangka akan menjadi anggota termuda saat itu, karena bisa dibilang saya adalah satu-satunya mahasiswa baru yang pertama kali ikut kegiatan GAMUS kala itu. Bagaimana tidak, sebab saat hampir seluruh mahasiswa belum melakukan kegiatan di kampus, karena sedang dalam masa liburan semester dan bagi angkatan 2010 pun memang belum waktunya masuk, hanya jurusan saya saja yang sudah memulai perkuliahan.

Selama kajian saya liatin orang yang ada di depan, kayaknya itu moderatornya, kelihatan ramah dan alim banget. Masih ingat sama baju koko birunya dan senyumnya yang khas. Semoga suatu saat bisa kenalan.

Di sela-sela kajian, tampak beberapa peserta yang sesekali menengok kearah saya dengan wajah sedikit heran, mungkin karena saya adalah orang asing dan belum memperkenalkan diri.

Beres kajian, mulailah sesi tanya jawab. Saya nyiapin buku catatan, sok rajin sambil masih malu-malu karena belum kenal siapa-siapa. Akhirnya suasana pun cair gara-gara ada ‘piring terbang’ lewat, seorang peserta pun nawarin saya makanan ringan dan ngajak kenalan.

Semua berjalan seperti biasa, saya sebutin nama dan beliau juga nyebutin nama, sampai ke pertanyaan darimana dan angkatan berapa, mulai identitas saya terbongkar. Saya juga sedikit canggung, karena beliau angkatan 2008 sementara saya 2010. Kakak itu langsung heran, "2010 emang udah masuk ya?" saya pun jawab, "iya jurusan saya udah masuk duluan, kak". Saya yang cupu dan polos ini, ngga nyangka bakal jadi anggota termuda, karena saya satu-satunya maba yang ikut kegiatan GAMUS kala itu. Ya iyalah, orang belum pada masuk, paling yang SP aja. Jurusan saya saja yang kerajinan, udah kuliah duluan.

Ngomong-ngomong soal jurusan, tanda tanya pun semakin membesar ketika peserta lain yang duduk tidak jauh dari saya penasaran dan ikut bertanya, "jurusan mana?" Saya jawab, "MBTI Internasional". Dan kali ini yang heran tidak hanya satu orang, tapi banyak, dengan pertanyaan yang sama "emang ada ya jurusan MBTI internasional?". Deg, saya pun semakin sungkan tidak karuan, apalagi ditambah perbincangan yang ramai di seberang sana, peserta dari kalangan mbak-mbak juga ikut nimbrung dengan topik yang sama. Digosipin dah..

Keributan itu pun sedikit teratasi setelah kakak yang di depan tadi berusaha menenangkan dan meminta peserta untuk fokus karena kajian sudah selesai dan akan ditutup untuk bersiap-siap shalat dzhuhur. Benar-benar terkesan dengan kakak yang satu ini, dengan bijaksananya menyelamatkan saya dari suasana yang cukup menegangkan.

Hari itu, saya ketemu dengan kakak-kakak GAMUS yang di kemudian hari menjadi orang-orang hebat yang menginspirasi, yaitu: Kang Afdil, Bayu, Wijang, Ika, Lutfi, Angki, dan banyak lagi. Khususnya Kang Adi Susanto, sang moderator yang belakangan saya baru tahu ternyata beliau itu Presiden alias Ketua GAMUS saat itu. Rasanya jadi dewasa lebih cepat, karena temenan sama orang-orang yang jauh, jauh lebih dewasa. Rasanya beruntung dan bersyukur banget. Semenjak saat itu, saya sering mampir ke sekre GAMUS di Gegerkalong, bahkan sering nginep di sana, sampai sekarang, hehe.

**

To Be Continued... Part 3: Bertemu Teman Sebaya, Akhirnya...

#GamusStory(1): Awal Perjumpaan Dengan Gamus

Bismillahirrahmanirrahim..



Saat membaca tulisan ini, mungkin sahabat telah mencapai separuh dari seluruh perjalanan kisah-kisah sahabat GAMUS yang tak terlupakan, atau bahkan baru saja memulainya.

Entah dimanapun posisi kita sekarang, bukan sebuah kebetulan bahwa kita semua dipertemukan pada halaman ini, karena saya yakin bahwa satu-satunya sebab yang mengantarkan sahabat membaca tulisan ini adalah takdir.

Ya, bukan karena bagus dan menariknya tulisan ini, apalagi jika lantaran saya adalah seorang (yang katanya) penulis, meskipun saya juga sedang berusaha menjadi seorang penulis. Semoga dari tulisan yang sederhana ini saya bisa menjadi lebih baik dari apa yang sahabat bayangkan.


Inilah sedikit kisah perjalanan seorang pengelana terasing, yang menemukan peradabadan, hingga akhirnya kembali terasing.

**

Awal perjumpaan dengan GAMUS

Layaknya seorang yang hendak pergi ke sebuah tempat yang asing, pastilah ada kekhawatiran tentang bagaimana nasib saya di tempat yang belum pernah saya kenal sebelumnya, tempat dimana saya mungkin tidak mengenal siapa-siapa, tempat dimana saya tidak tahu harus berbuat apa.

Meskipun sejak kecil saya sudah cukup akrab dengan Bandung karena setiap momen lebaran selalu ada agenda silaturahim ke kerabat-kerabat di sini, tentunya pengalaman semasa kecil dengan apa yang akan dialami nanti sebagai Mahasiswa tidak bisa disamakan.

Banyak sekali pertanyaan dalam diri: "Apakah saya bisa bertahan disini?", "Apakah saya akan bertemu dengan orang-orang yang ramah dan bisa membantu saya?" dan kekhawatiran-kekhawatiran lain yang saling bermunculan kala itu. Tidak lain karena saya adalah satu-satunya siswa dari SMA 1 Gresik yang masuk ke IMT pada tahun itu, di jurusan yang masih terbilang 'baru'.

Latar belakang saya sebagai pengurus Remaja Masjid (remas) yang sehari-hari nongkrong di masjid dan sekretariat DKM, menggerakkan saya untuk pergi mencari 'pelabuhan' baru tempat nongkrong, entah masjid atau syukur-syukur ada semacam Remas-nya. Minimal supaya bisa berduaan dengan 'pacar' saya 'Asri' -yang atas restu dari orang tua, dia saya bawa untuk menemani perjuangan di kota Bandung. Oh ya, Asri ini sebutan untuk laptop Acer saya ya, jangan salah paham, hehe

Jujur, apa yang ada dalam benak saya tentang organisasi keislaman di kampus hampir sebagian besar adalah gambaran seram dan dekat kepada paradigma 'aliran aneh', Saya sendiri menyadari banyak alumni yang berubah drastis setelah menjalani hidup di kampus, baik pemikiran maupun tingkah lakunya. Beda banget dari yang dulu dikenal.

Menjelang masa-masa akhir SMA, biasanya beberapa saat setelah UN selalu diadakan Kajian Kampus oleh para alumni Remas yang isinya membahas tentang kehidupan kampus; dan sebagai suplemennya, dibahas juga tentang organisasi-organisasi dan aliran-aliran Islam yang bakal ditemui di dunia kampus.

Tentu saja acara ini menjadi agenda yang sangat penting dan cukup menyita banyak perhatian, terlebih lagi ketika maraknya isu-isu Bom teroris yang dikaitkan dengan aliran-aliran yang dianggap 'menyimpang', dan merebaknya kasus NII yang dikabarkan juga salah satu pusat penyebarannya berada di Bandung. Kakak-kakak alumni pun pastinya tidak ingin adik-adiknya terpengaruh dan terjerumus kedalamnya. Hal ini membuat saya dan teman-teman sedikit 'paranoid' dan berhati-hati, kalau bisa mah, gak usah ikutan yang gitu-gitu.

Selain IM Telkom, sebenarnya saat itu saya punya beberapa pilihan kampus, yaitu UNIKOM dan UNAIR. Namun, setelah saya istikharah dan berdiskusi dengan orang tua juga saudara, akhirnya saya pun mantap memilih IM Telkom. Dari situ, saya mulai mempelajari semuanya tentang IMT, mulai dari sejarahnya, prestasinya, hingga unit-unit kegiatan yang ada dalamnya. Sebagian besar saya dapat dari hasil browsing dan tanya-tanya ke alumni yang juga sekolah disana, beruntung ada alumni, dan juga saudara sepupu saya yang merupakan mahasiswi ITT (sekarang sudah lulus).

Dengan bekal informasi yang berhasil saya dapatkan di website IMT, saya tahu ternyata disini ada organisasi sejenis Remas, semacam komunitas Mahasiswa Muslim. Saya pun tertarik dan mulai mencari informasi lebih dalam. Kali-kali bisa gabung. Awalnya khawatir juga, jangan-jangan sama ama yang lain. 

Setelah saya pelajari akhirnya kekhawatiran saya di awal sedikit sirna karena komunitas itu kurang lebih sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan saya. Alhamdulillah, ngga seseram yang dikira, di sana lebih banyak kegiatan kekeluargaan, perayaan hari besar Islam, event-event yang menarik, dsb. Terlihat dari profil yang dijelaskan, dan foto-foto kegiatan yang ada di blog resminya, menunjukkan suasana yang hampir sama dengan yang biasa saya rasakan ketika di SMA. Salah satunya yang paling menarik adalah momen makan bareng di satu tempat, yang kalau di daerah saya disebut talaman.

Meskipun belum sepenuhnya yakin bakal cocok di sana, tapi prasangka baik aja dulu. Siapa tahu bener. "Alhamdulillah, ternyata ada keluarga seperti remas disini", pikirku kala itu. Ya, nama organisasi itu Keluarga Muslim IM Telkom, yang disingkat GAMUS.

Keluarga Muslim Institut Manajemen Telkom (GAMUS)
**
Baca cerita selanjutnya:

Puisiku Untukmu


Kamu, yang selalu hadir dalam mimpiku
Mengisi hampir seluruh pikiranku
Menemani di setiap sisi kehidupanku

Kamu, yang selalu menasihatiku
Mengingatkanku akan Tuhanku
Mengajarkanku dan membimbingku
Ke jalan yang diridhai Tuhanku

Empat tahun sudah kita jalani
Mengikat janji, menyatukan visi
Suka duka telah kita lalui
Demi menggapai surga ilahi

Dan, disinilah aku
tempat pertama kali kita bertemu
Di sebuah kampus yang berwarna biru
seperti dirimu

Sudah sejak lama ku menantikanmu
sejak pertama ku mengenalmu
dari seseorang bernama Wajah Buku, yang bermata biru

Seiring berjalannya waktu, aku pun semakin tahu
Semakin ku mengenalmu
semakin besar rinduku padamu.

Mungkin kau tak tahu
Aku hidup sendiri, tanpa keluarga di sampingku
Itulah kenapa, betapa besar pengharapanku
Bisa membangun keluarga bersamamu

**

Aku pun menunggu
berdamai dengan waktu
Seraya berdoa Allah kan memberi restu
Untuk berjumpa denganmu

Hingga tiba suatu hari
Allah menakdirkan pertemuan itu
Sesuai janjiku padamu, yang disaksikan oleh Wajah Buku
Dengan izin allah, aku pun menemuimu di hari itu

Maafkan aku
karena terlambat di hari itu
Semoga kau tidak terlalu lama menunggu
Seperti aku yang menantikanmu

Kubuka pintu, masuk ke ruangan itu
Kuamati orang-orang di sekelilingku
Namun dirimu tak nampak olehku
Rasa sedih pun menghantuiku
Bagaimana bisa aku menemukanmu?
Sementara wajahmu pun aku tak tahu
Hanya namamu, yang jadi petunjukku
Tuk temukan dirimu

Awalnya ku ragu, benarkah itu dirimu
Sebab kau diam membisu, tak bicara padaku
Ingin ku menyapamu, tapi tak mampu
Karena aku malu, jika ternyata kau pun tak mengenalku

Tiada terduga olehku
Kau pun menghampiriku
dengan senyuman manismu
ternyata kau sudah tahu, itu aku

Bertemu untuk berpisah
ungkapan yang tepat untuk hari itu
Berjumpa sesaat, tak sempat berbincang
lalu berpisah dengan jalan masing-masing
Hingga akhirnya, kita kembali dipertemukan
dalam peristiwa penting, yang kan selalu dikenang
Dalam waktu singkat, ku telah merasa begitu dekat
Mungkinkah, Jodoh adalah kata yang tepat

**

Aku yang berada di tengah-tengah jalan takdirmu
Selalu saja datang mengganggu
Mencari celah untuk bisa bercengkrama denganmu
Tak peduli jarak dan waktu
Hingga semua orang pun menegurku

Aku tahu, aku keliru
Aku pun tahu, kau tak tega melihatku
Tapi satu yang kau harus tahu
Aku tak bisa jauh darimu

Selamat tinggal cinta pertamaku
Meski kini kau tak lagi bersamaku
Namamu akan selalu ada dalam hatiku
GAMUS IM Telkom ku

Sampai jumpa keluarga pertamaku
Selamat menjalani hidupmu yang baru
Walau kelak kau tak lagi seperti dulu
Wajahmu yang biru, mungkin jadi merah kelabu

Tapi berjanjilah padaku
Kau kan tetap selalu Biru
Sebiru hari itu, meskipun tanpaku
Karena biru, adalah dirimu

Sekre Gerlong, 7 Feb 2014 - 09.00 WIB
Iqbal Arubi

Popular posts