"Dasar, Tukang Becak Bodoh!" - Sesak Karena Keterdesakan

  • 0


Kemarin, saat perjalanan menuju Gresik dalam rangka mudik, saya menemukan sebuah kejadian menarik, ada sebuah becak yang berusaha menyalip Bis yang saya tumpangi. Ada kejadian tak terduga...


Kejadian ini saya temui sesampainya di daerah Rembang, tepatnya di daerah perbatasan menuju ke arah Tuban. Seorang ibu-ibu nampak gelisah dengan raut muka memerah saat menumpang becak yang dibawa oleh bapak-bapak berusia 40-an. Saat itu becak tengah berada persis di samping kiri bis yang saya tumpangi, sangat tipis jaraknya. Hingga tukang becak itu pun ragu-ragu apakah bisa melewatinya atau tidak.

Hal ini terjadi lantaran jalan padat dan macet karena banyak kendaraan besar yang melintas, akhirnya banyak kendaraan diantaranya sepeda motor dan becak mengambil jalur sebelah kiri untuk menyalip, atau bahkan menyerobot. Termasuk becak ini.

Maklum, jalan yang dilalui tersebut dekat dengan pasar sehingga banyak kendaraan yang keluar-masuk bergantian, sehingga menimbulkan kemacetan. Hal ini diperparah dengan pengunjung kios yang memarkir kendaraannya di bahu jalan sehingga memakan jalur.

Mungkin karena tidak sabar, Ibu tadi mulai menggeliat-geliat dan nafasnya kembang-kempis. Nampak sekali kegusaran dalam hatinya. Mungkin karena matahari sedang teriknya, dan juga lapar karena berpuasa. Tidak hanya Si Ibu, ternyata banyak yang ikutan gelisah lantaran becak ini tak juga mau bergerak, seperti tukang ojek, bapak-bapak yang nongkrong di warung, dan mereka yang hendak menyebrang.

Ada apa gerangan? Ternyata si becak ini tidak mau masuk ke celah di samping Bis yang kelihatan cukup lebar untuknya

Suasana macet pun tak ayal membuat situasi semakin memanas, orang-orang yang awalnya hanya duduk santai di warung pinggir jalan pun mulai berteriak dan meminta tukang becak itu untuk terus maju, karena terihat masih ada jarak yang cukup untuk becak itu lewat. Kalau becak itu maju, kendaraan dibelakang pun otomatis bisa ikut maju, begitu pikir orang-orang.

Si ibu pun tak kalah semangat, dengan nada agak tinggi, dan mugkin sedikit kesal, Si Ibu bilang "Pak, itu pak, maju saja, kosong itu! Bisa kok, gitu aja masa ngga bisa!" sambil menunjuk-nujuk ke arah celah kosong di depannya.

Namun, tukang becak itu bergeming, ia tetap pada pendiriannya, tidak mau bergerak. Nampaknya tukang becak itu tahu bahwa ia tidak mungkin berhasil sampai melewati badan bis, barang separuhnya.

Saya pun mengamati kejadian itu dengan jelas dari jendela. Di balik rasa bosan dalam bis berisi 32 orang yang "bisu" ini, ternyata saya masih bisa menikmati perbincangan yang cukup menarik. Perseteruan mirip pasangan ABG yang sedang bertengkar. Saling "ngambek" antara tukang becak yang santai sambil sesekali menyeringai, dengan Si Ibu yang sejak tadi bersungut-sungut sambil sesekali menghela nafas, tanda tak sepakat dengan pendirian si bapak. Juga orang-orang disekitar yang tak sedikit menunjuk-nunjuk dan menertawakannya, seakan membully tindakan si bapak yang terlihat ragu-ragu dan kurang berani.

Mungkin kalau kita ada dalam situasi seperti itu, secara tidak sadar akan melakukan hal yang sama dengan orang-orang tersebut, timbul rasa kesal dan ingin meneriakinya, bahkan mungkin dengan kata-kata yang kurang mengenakkan meskipun dalam hati, "Dasar, tukang becak bodoh! Ngapain sih diem disitu, itu kan kosong kenapa ngga maju aja??"

Memang, saya lihat sekilas dari ekspresi wajahnya nampak ada keraguan, dan sesekali beliau pun tersenyum "mringis", kalau bahasa jawanya, seperti menghiraukan bully-an orang-orang.

Tapi, menurut saya ia bukan ragu-ragu, tapi hanya berhati-hati. "Daripada nanti nyangkut, kan berabe, bikin masalah. Mending nunggu bentar, toh nanti juga bisnya bakal gerak, gak akan lama", mungkin begitu pikirnya. Kalau saya jadi bapak itu, mungkin saya pun akan berpikir demikian.

Akhirnya, tidak lama kemudian sedikit demi sedikit Bis pun bergerak, diikuti oleh kendaraan di belakangnya. Begitu pula becak yang tadi, dengan sabarnya maju selangkah demi selangkah hingga akhirnya kemacetan pun terurai dan Bis melenggang meninggalkan tempat itu. Si bapak pun bisa mengayuh becaknya dan bernafas dengan lega. 

** 

Adegan tukang becak diatas menggambarkan situasi dimana kita dihadapkan pada suatu pilihan hidup, yang didalamnya pasti ada hambatan dan peluang. Sebuah peluang, terkadang juga bisa menjadi hambatan bila hal itu justru akan berdampak kurang baik terhadap kehidupan kita di masa depan. Pun, sebuah hambatan bisa jadi malah menjelma sebagai peluang, ketika kita berhasil mengatasinya dengan baik.

Orang-orang di sekitar kita, seperti Ibu tadi yang mewakili orang tua/kerabat/orang terdekat kita, dan orang-orang di pinggir jalan -teman, sahabat, masyarakat- yang senantiasa mengamati tindakan kita pasti akan mengambil salah satu peran dalam pengambilan keputusan itu. Entah mendukung, atau menentang.

Dalam kasus becak tadi, sekalipun yang dilontarkan orang-orang adalah kata-kata pedas dan teriakan kesal, namun saya melihat bahwa desakan dan dorongan itu lebih mirip akan halnya sebuah dukungan. Kenapa saya katakan dukungan? karena langkah yang diambil itu adalah sebuah kemajuan yang akan berdampak positif, yaitu memberi jalan bagi becak itu dan juga orang lain. Desakan itu mengatakan kepada kita untuk terus "maju".

Beda halnya dengan ejekan yang berisi penolakan dan ungkapan menentang, karena dilandasi oleh adanya dampak negatif. Desakan dan "dukungan" seperti itu sebaliknya justru menyuarakan agar kita "mundur" dan berhenti melakukannya.

Dukungan agar becak itu maju, tentunya bagus, karena akan berdampak baik bagi dirinya maupun kendaraan dibelakangnya. Tapi, dalam kasus ini, tukang becak tadi dituntut untuk menilai, apakah ia harus mengikuti desakan orang-orang atau memilih membiarkannya?


Ada satu pertanyaan yang kemudian harus ia pikirkan, haruskah ia menanggapi ejekan orang-orang dan mengikuti desakan mereka? Bukankah itu adalah bentuk dukungan mereka, agar becak itu maju?

Menarik bukan, bagaimana cacian dan ejekan adalah bentuk lain dari sebuah dukungan. Namun yang lebih menarik adalah sikap si tukang becak tadi, yang cenderung tetap pada pendiriannya. Ia tak sedikitpun terpengaruh dengan desakan orang-orang, ia lebih memilih mendengarkan kata hatinya dan percaya akan kebaikan dari hasil perhitungannya sendiri.

** 


Hikmahnya:
Ketika kita sudah mempunyai pendapat, dan penilaian terhadap sesuatu yang itu menyangkut masa depan kita, dan mungkin orang yang ada dalam tanggung jawab kita. Pasti akan ada orang-orang yang ikut mempengaruhi kita dalam menjalankannya. Ada yang mendukung, dan ada yang tidak.

Kadang, bentuk dukungan itu beragam. Pertama, ada yang mendukung karena mereka tahu betul bahwa kita bisa melakukannya, dan karena itu baik untuk kita -menurut mereka-. Kedua, mereka mendukung sebenarnya hanya sebagai bentuk perhatian dan apresiasi, meskipun mereka belum yakin betul kita bisa berhasil melakukannya.

Atau ada juga yang ketiga, seseorang mendukung kita karena hal itu menurutnya sangat sesuai dengan prinsipnya, dan apa yang ia yakini baik, karena hal itu pernah dirasa baik untuknya. Akhirnya ia pun meyakini hal itu baik juga untuk orang lain. Ia "mendukung" dengan sekaut tenaga, kaau perlu sedikit "memaksa" agar kita mau mengambil langkah tersebut. Biasanya orang-orang ini jauh lebih konsisten dukungannya, dan pantang menyerah, hehe.

Namun yang lebih menarik adalah yang keempat, mereka yang mendukung mati-matian karena kecintaannya pada seseorang. Biasa disebut simpatisan, atau fans. Mereka ini kalau ngedukung akan jauh lebih hebat dari tipe sebelumnya. Kalau perlu segalanya dikorbankan demi mendukung orang yang disukainya. Padahal mungkin antara yang didukung dan mereka mendukung sebenarnya belum tahu potensi keburukan yang akan terjadi kemudian hari. Terlanjur larut dalam euforia.

Atau yang didukung sebenarnya sudah tahu ia tidak akan bisa, tapi pendukungnya ini yang maksa, jadilah terpaksa maju, hehe...

Haruskah kita mengikuti desakan mereka? Sementara kita sendiri tahu bahwa jika kita terus maju, justru hal itu akan berdampak buruk bagi kita. Mungkin tidak sekarang, tapi entah kapan yang jelas kita sangat meyakini dan bisa melihat kemungkinan yang akan terjadi.

Kadang kita perlu mempertahankan pendirian kita, meskipun sebagain besar orang berkata sebaliknya. Sekalipun orang-orang mendorong kita untuk bergerak, mendukung kita, bahkan sampai sedikit 'memaksa' kita untuk maju, tapi kalau menurut perhitungan kita tidak akan berhasil dan justru berbahaya jika kita melangkah, sebaiknya kita ikuti suara hati kita.
Dukungan itu bagus, tapi bisa jadi tidak semua dukungan itu "mendukung" kebaikan.
Karena, kitalah yang akan menjalani piihan kita nantinya, bukan mereka. Memang, pertimbangan orang lain itu penting, tapi jangan kesampingkan kenyataan bahwa kita punya pengaruh lebih besar terhadap kelangsungan masa depan kita sendiri, kita seringkali "lebih tahu" yang terbaik untuk kita.

Ketika misalnya, ternyata kita menghadapi masalah akibat menuruti 'dukungan' orang lain, belum tentu mereka akan mau membantu kita menyelesaikannya. Kalau saja, nantinya becak itu ternyata tersangkut, belum tentu orang-orang mau menolongnya, atau malah mereka justru menertawakannya?

Seperti halnya ketika kita mendapati peluang untuk menjadi ketua sebuah organisasi, kita melihat jelas peluang itu, begitupun teman-teman kita. Mereka pun berbondong-bondong memberikan dukungan, dan "mendesak" agar kita maju sebagai calon ketua dalam pemilihan nanti. Padahal, kita sendiri merasa belum sanggup untuk itu, dan malah akan berdampak kurang baik nantinya jika kita tetap maju untuk jadi ketua. Lalu, karena pertimbangan sendiri, kita pun memilih untuk tidak maju.

Di lain cerita, katakanlah kita mengikuti desakan orang-orang, kita maju dengan berbagai kekhawatiran yang sudah sejak awal kita ketahu, lalu apa yang terjadi? Kekhawatiran itu pun terjadi, dan orang-orang yang tadinya mendukung kita malah seakan tidak peduli dan berbalik menyalahkan kita. Tidak enak bukan?

Karena hal ini pernah terjadi pada salah seorang sahabat saya, ketika ia mendapati episode untuk menjadi "pejabat" organisasi kampus, sebut saja semisal MPR nya Republik Mahasiswa. Dengan segudang kompetensinya, salah seorang mahasiswa pun mencalonkannya sebagai anggota "dewan" karena melihat kapabilitasnya yang dirasa cukup. Tidak sedikit teman-teman yang se-organisasi dengan mahasiswa itu pun ikut mendukungnya. Tapi ia sendiri tidak sepakat, karena ia tahu kemampuannya, dan menurutnya ia tidak cocok di sana, karena beberapa hal yang ia sendiri yang tahu.

Namun apa yang terjadi berikutnya? Ternyata ia pun terpilih, dan resmi menjadi "anggota dewan" dengan selisih suara yang tipis dengan kandidat dengan suara terbanyak. Beberapa bulan berjalan, masalah pun mulai bermunculan, dan pertengkaran batin pun tak terelakkan. Ia yang sejak awal memang tahu bahwa dia tidak akan cocok di dalam lingkaran "anggota dewan" pun mulai merasakan dampak buruknya.

Sayangnya, kenyataan berikutnya lebih menyakitkan, orang-orang yang dulunya mendukung dan "mendesak" untuk mencalonkannya, pun sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Mereka meninggalkannya begitu saja, saat ia hampir putus asa dan merasakan beban berat di pundaknya. Yang terjadi berikutnya adalah ia kembali meyakinkan diri untuk mengikuti pilihannya. Dengan pertimbangan dari orang tuanya, akhirnya ia pun mundur dari jabatan itu.
Jangan mudah mengikuti desakan orang lain, meskipun itu untuk sesuatu yang baik, karena belum tentu mereka akan menolong kita saat kita terdesak dan mendapat masalah dari hasil keputusan itu nantinya.

Maka, kaitannya dengan tukang becak tadi, kita patut mengapresiasi dan mengucapkan selamat kepada beliau karena sudah mengambil keputusan yang tepat dengan memenangkan suara hatinya sendiri. Ia tidak begitu saja mengikuti desakan "dukungan" orang di sekitarnya. Kita tahu kan pada akhirnya keputusan itu berdampak baik sehingga beliau pun baik-baik saja. Namun sayangnya tidak semua orang berfikir demikian.

Saya bisa membayangkan, gimana jadinya kalau becak tadi akhirnya mengikuti "desakan" orang-orang, dan nekat untuk maju, mungkin dia akan tersangkut dan malah membahayakan dirinya dan Ibu penumpang. Kemudian, orang-orang pun akan mulai ramai menertawakannya, bukannya menolong dan justru mengejeknya untuk kedua kali karena mau saja mengikuti saran mereka.

Tapi, untungnya saya kira di dunia ini kemungkinan besar masih banyak mereka mau menolong. Meskipun begitu, daripada mengikuti sesuatu yang belum pasti, alangkah lebih baik kita mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan kita yang lebih matang, dan terukur. Yakin akan pilihan kita, dan percaya pada perhitungan yang kita buat. Namun perlu diperhatikan, perhitungan itu harus benar-benar matang dan punya dasar yang kuat.


Rembang, 26 Juli 2014
-disempurnakan di Rumah, 29 Juli 2014 9.00


SPOILER: Inilah akibat dari menyerobot. Kalau ngga muat, jangan dipaksa, sabar aja ya :D

Ilustrasi: Menyerobot Bis
Akibat menyerobot bis

Akibat fatal menyerobot
 

No comments:

Post a Comment

Popular posts