Celoteh Pagi #3: This Traffic Is Killing Me

  • 0
"Membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia"
Kalimat ini menurut saya ada benarnya, paling tidak dari dua sebab: Pertama, ketika kita membunuh satu orang, artinya kita memutus kesempatan sebuah generasi untuk berkembang.
Sebagai makhluk hidup yang secara alamiah diberi kemampuan untuk bereproduksi dan berkembang biak, manusia pun diberi anugerah untuk bisa melahirkan keturunan. Bayangkan saja, andai kakek-nenek kita tidak ada karena dibunuh baik tiba-tiba maupun terencana, kita mungkin tidak akan hadir ke dunia karena nenek yang seharusnya melahirkan orang tua kita, tidak bisa, dan akibatnya orang tua kita pun tidak bisa melahirkan kita karena mereka pun tidak pernah ada.

Kedua, secara sistematis ada mekanisme berjamaah yang memungkinkan satu perbuatan untuk menjadi masif. Artinya, ketika masing-masing individu melakukan sesuatu, meskipun hal kecil namun jika dilakukan oleh setiap orang, maka kita akan lihat semua orang melakukan hal yang sama. Jadilah sebuah tindakan itu menjadi terstruktur, sistematis, dan masif *Kayak pernah denger? hehe 

Dalam hal ini penting adanya sebuah kepedulian dan positif thinking. Setiap orang harus mau melakukan sesuatu, dan meyakini orang lain juga berbuat demikian. Ketika misalnya, seseorang membunuh orang lain, lalu orang lain melihat itu dan mencontohnya bisa jadi akan ada pembunuhan massal. Meskipun saya sangat-sangat tidak berharap demikian.

Kelihatannya serem ya bahas bunuh-bunuhan *maklum keseringan nonton CSI di FoxCrime*
Baiklah, Itu tadi sekedar intermezzo, tentang efek masif yang berasal dari tindakan individu. Saya tidak akan membahas lebih lanjut soal bunuh-membunuh, karena saya percaya anda pun tidak tertarik melakukannya *semoga. hehe

Tapi meskipun begitu, ada hubungannya juga dengan apa yang akan saya bahas kali ini. Tentang membunuh, tapi bukan manusia melainkan "membunuh" kebiasaan buruk melanggar aturan lalu-lintas. Membunuh sehingga bisa memutus perkembangbiakanya dan segera punah.
Karena kalau dibiarin, lama-lama lalu-lintas yang berantakan ini bisa ngebunuh kita juga, means literaly benar-benar membunuh. Entah karena kecelakaan, atau karena mati stres ngelihat kelakuan orang-orang yang ngga karuan.
**
Pagi hari, seperti layaknya di kota-kota lainnya, kita pasti akan menemukan fenomena yang cukup menyita perhatian, yaitu kesibukan pagi hari di jalan raya. Suara klakson bersahut-sahutan, kendaraan yang menyemut di jalan, juga orang-orang yang lalu-lalang di penyeberangan. Hal yang wajar kita lihat sehari-hari.

Namun, dibalik itu ada satu hal yang juga sepertinya menjadi "hal wajar" dan biasa, saking biasanya sampai kita sering tidak mempedulikannya. Apa itu? mari kita tengok keadaan jalan raya hari ini, apa yang anda temukan? Saya kira tidak perlu menjelaskannya karena sudah sama-sama tahu, betapa semrawut dan kacaunya jalanan di kota-kota Indonesia kini.

Pada hakikatnya, normalnya, pelanggaran adalah sebuah ketidakwajaran. Tapi kenapa ya seolah-olah zaman sekarang ini yang tidak wajar itu justru adalah hal wajar. Misalnya, adalah wajar ketika sekarang banyak wanita pakai rok mini jalan-jalan, sampai-sampai motor pun ikutan pakai ban mini. Sedangkan dulu hal itu sama sekali tidak wajar dan jarang ditemui.

Mungkin beberapa orang akan beralasan Zaman dulu dan sekarang beda. Iya jelas lah beda, kalau sama berarti waktu tidak berjalan. Oke, saya tidak ingin memperdebatkan itu, yang ingin saya bahas adalah, terlepas beda antara dulu dan sekarang; seharusnya ada satu hal yang mestinya jadi sesuatu yang tetap dan bersifat universal, yaitu keteraturan.

Bukankah kita senang ketika segala sesuatunya itu rapi, tertib, dan nyaman? Sekacau-kacaunya orang pasti suka yang namanya ketertiban, preman aja marah kalau anak buahnya ngga tertib, ngga mau nurut sama perintahnya. Masa kita yang ngga kalah preman ini woles aja liat yang berantakan? Something must be wrong with you man...
"Kebohongan yang disampaikan terus-menerus akan menjadi sebuah kebenaran", entah siapa yang pertama kali mengeluarkan ide ini, tapi yang jelas ada benarnya. Kalau ditarik kedalam soal kewajaran ini, sesuatu yang tidak wajar jika dilakukan berulang-ulang maka akan jadi sesuatu yang wajar.

Lihat saja apapun yang awalnya aneh di dunia ini, karena sering diulang-ulang maka suatu saat ia akan jadi sesuatu yang wajar. Seperti kita yang dulu aneh ketika pertama kali selfie, sekarang malah paling rajin selfie sampai HP pun gonta-ganti memori.

Dulu sangat tidak wajar ketika orang melawan arus di jalan, tapi karena lama-lama makin banyak yang melakukan, seakan jadi wajar *setidaknya buat mereka yang melakukan
Menghernankan ya, kenapa sebuah ketidakwajaran menjadi wajar? Sihir apa yang bisa memungkinkan ini terjadi? Entahlah, mungkin kita bisa tanya analisisnya ke Orang pintar macam Ki Joko Bodo, namun sayangnya beliau sudah tobat. Jadi, kita tanya ke Orang Pintar lainnya, diri kita sendiri.

Sebenarnya, diri kita paham dan tahu tentang hal ini, tentang lalu-lintas dengan segala aturannya. Tapi entah kenapa ya, kok rasanya kita lebih sering jadi orang bodoh dan tidak peduli. Kejam amat bahasanya? biarin. Baiklah mungkin bukan tidak peduli, tapi kita peduli pada suatu hal yang tidak seharusnya. Kita lebih peduli pada ketidaksukaan orang lain dengan tindakan kita yang tertib, atau kita lebih peduli pada kepentingan kita sendiri sehingga mengabaikan hak orang lain.

Berapa banyak yang jiper ketika berhenti seketika lampu merah menyala, dan orang yang nyelonong boy dibelakang nglakson? Kapan terakhir kali kita ingat belok kanan dengan aman di pertigaan, kalau ngga diteriakin sama orang yang nyalip dari kanan. Berapa banyak yang dibilang "anj**ng" gara-gara nglakson orang yang melawan arus? Serius, saya sering mengalami itu, dan pengen biang Go home, you're drunk bro..

Begitu banyaknya yang melanggar aturan lalu-lintas, ibarat buih di lautan karena saking banyaknya. Sampai-sampai saya mikir, apa pindah aja ya ke negara yang lebih tertib? Apa jadi polantas aja ya biar bisa ngatur mereka-mereka ini? atau haruskah gue jadi TNI biar disegani dan lebih mudah negur mereka-mereka ini? Ah, mungkin itu cuma pikiran sesaat saja.

Untungnya pagi ini saya menemukan sebuah tulisan yang cukup menarik, tentang bagaimana negara lain mempunyai masyarakat yang tertib berlalu-lintas, yaitu Jepang. Seorang ibu bercerita tentang pengalamannya mendampingi anaknya bermain di Taman Lalu Lintas di Jepang. Di sana beliau menemukan banyak hal dan membagikannya di forum Kompasiana. Berikut cupikannya:
"Heran gak sih lihat orang Jepang kok gampang banget di atur dan sangat tertib dalam berlalu lintas? Iya, saya juga heran dan geleng-geleng kepala. Jarang saya lihat orang Jepang yang pada ngebut di jalan raya, kepot sana kepot sini, sradak-sruduk, gak sabaran sama lampu merah, maju terus berani mati walau klenengan kereta api sudah teng tong teng tong tapi nyosor terus walau akhirnya berhenti di tengah rel karena macet, gak pakek lampu sen kalau mau belok, dan juga tan tin tan tin berisik pada klakson karena gak sabar, kenapa ya?" - Weedy Koshino
Sepanjang membaca tulisan itu, kita akan sedikit tergelitik dan mungkin tertunduk malu, melihat betapa jauhnya kita dibandingkan mereka dalam hal ketertiban di jalan. Bagaimana mereka sabar berkendara dijalan, tanpa klakson tanpa srudak-sruduk, dan tidak menerobos lampu merah.
Enak kan kalau tertib gini?
Sebenarnya beda antara kita dan Jepang cuman satu: Kita melakukan apa yang mereka tidak lakukan.
Pengendara Jepang sangat memeperhatikan lampu lalu-lintas, mereka tidak akan sekali-sekali menerobos lampu merah sekalipun tidak ada kendaraan yang melintas. Begitu juga dengan pejalan kaki, kalau belum waktunya untuk nyebrang, mereka tidak akan nyebrang karena sudah ada jatahnya masing-masing yang ditunjukkan lewat lampu indikator.

Kita akan jarang meilhat polisi yang berdiri di jalan sambil bawa pentungan. Memang sih, polisinya berdiri di ruangan sambil lihat CCTV, tapi coba bukannya di kita juga ada CCTV toh ngga ngefek. *gimana mau ngefek, orang jelas-jelas ada polisi aja ngelanggar, apalagi cuman sekedar CCTV yang ngga "kerasa".

Ada suatu saat dimana seorang anak kecil ingin melewati rel kereta api, tanda peringatan pun berbunyi dan dia seketika berhenti dan mundur sampai di belakang garis batas antri. Padahal dia sama sekali tidak didampingi orang tuanya, dan yang lebih salutnya lagi itu adalah rel kereta bohongan dan sama sekali ngga ada kereta yang bakal melintas. Kita mah boro-boro berhenti, kereta udah deket aja masih nekat nerobos palang pintu, jadinya banyak kan kecelakaan melibatkan Kereta Api. Kalau udah gitu siapa yang salah? Parahnya lagi, yang salah ngotot ngga mau disalahin.

Demi terwujudnya sebuah keteraturan memang perlu adanya ketegasan dan konsistensi baik dari penegak hukum maupun kita sendiri. Biasanya tegas itu artinya ada hukumnya, ada petugas yang negur kalau ada yang melanggar hukum, dan ada dendanya. Kita semua paham itu. Tapi kenapa tidak kita temukan di negeri kita? 

Padahal kurang lengkap apa hukum di kita, Undang-undang dari kapan tahun yang njelimet dan kita pun takjub kalau ada yang sampai hafal, tulisan dan peringatan dimana-mana menghiasi. Tapi sayang, tak berguna karena kita salah menyikapinya. Kita bukan tidak bisa membaca tapi tidak mau menyadari pesannya. Jadilah kita mengabaikannya.

Bisa jadi karena petugasnya yang kurang tegas, kadang tidak adil juga mengegakkan peraturannya, ngga konsisten. Ada yang benar-benar ditindak, ada yang dibiarkan. Tapi bisa jadi salah kita juga, yang udah ngga mau ikut aturan, ngasih kesempatan pula buat para petugas untuk tidak menjalankan tugasnya. Jadi, sama-sama harus berbenah.
**
Tulisan ini sengaja dibuat sebagai pengingat untuk diri sendiri, supaya tetap istiqamah dan selalu belajar agar lebih tertib. Karena kalau kita tertib, semua juga akan tertib. Kok bisa? Iya kalau setiap orang berpikir dan bertindak yang sama, otomatis itu akan jadi sikap berjamaah. Lihat saja dalam shalat, gerakannya sama karena setiap orang melakukan yang seharusnya. Coba saja setiap orang nyeleneh, bakal kacau tuh shalat berjamaah.

Kalau yang saya lihat, kenapa pengendara Jepang bisa tertib, selain karena sudah dididik disiplin sejak kecil juga karena dilatih peduli orang lain. Diri sendiri tertib, dan meyakini orang lain tertib. Artinya mereka husnudzannya kuat, mereka melakukan yang seharusnya dan berfikir bahwa orang lain juga melakukan demikian. Mereka peduli akan aturan, sehingga memberi kesempatan bagi orang lain untuk peduli aturan juga.

Beda dengan di Indonesia, kebalikannya malah. Kenapa sih banyak yang melanggar? ya karena satu, bisa jadi jarang sekali orang yang dari kecil dididik untuk tertib berlalu-lintas. Kedua, karena ketika ada orang yang mau melanggar dia juga berfikir "ah, orang lain juga pasti melanggar", jadilah pelanggaran berjamaah *hiks

Kadang kesel juga, sempet mikir apa di rewind gitu aja ya biar pada balik jadi bocah dan dilatih yang bener. Atau yang muda-muda dikarantina dulu sampai jumlahnya lebih banyak dari yang tua, baru dilepas ke jalan? "potong generasi" istilahnya. Memang solusinya harus dididik sejak kecil. 

Karena kalau udah dewasa, susahnya naudzubillah, ibarat batu yang tidak bisa lagi dibentuk dan dirubah. Juga kadang saling tular-menular, orang yang dari kecil udah dilatih tertib kadang terpaksa melanggar juga, mendidik yang satu eh ketularan liat yang lain melanggar.
Memang butuh perjuangan keras karena sudah terlanjur "keruh" dengan yang tidak tertib, sampai-sampai yang tertib pun malah jadi satu-satunya orang yang ngga tertib *tepokjidat *ironis *nangisdarah

Tentu sebenarnya solusinya banyak sekali, tinggal kita mengambil peran untuk menerapkan solusi yang mana. Karena saya bukan dari latar belakang pemerintah dkk, maka saya kira yang bisa saya lakukan ya itu tadi, mengedukasi dan melatih disiplin berlalu lintas di keluarga, minimal dari diri sendiri. Sisanya, tugas para pejabat yang berwenang untuk melengkapinya, seperti menegakkan aturan dengan tegas dan konsisten, menyediakan sarana prasarana lalu-lintas yang baik dan terawat, dan sebagainya.

Saya bukan siapa-siapa dan ngga punya pengaruh apa-apa, tapi saya salut dan memberikan apresiasi yang besar untuk mereka-mereka yang mau tertib dan peduli dengan mereka yang berusaha tertib dengan ikut tertib juga dan mendukung mereka. Bukan membully, mengintimidasi, seolah-olah salah padahal kite yang salah.

Semoga celotehan singkat (singkat apanya??) ini ada manfaatnya, meskipun mustahil berharap simsalabim besok pagi semuanya pada tertib. Minimal dari diri sendiri sudah berusaha tertib, maka tidak lama semuanya juga akan tertib. Semua akan indah pada waktunya kok  #eaaa :')

#CelotehPagi
Cimahi, 11.10.2014 12.00 AM

Referensi:

No comments:

Post a Comment

Popular posts