Kalimat ini menurut saya ada benarnya, paling tidak dari dua sebab: Pertama,
ketika kita membunuh satu orang, artinya kita memutus kesempatan sebuah
generasi untuk berkembang.
Sebagai makhluk hidup yang secara alamiah
diberi kemampuan untuk bereproduksi dan berkembang biak, manusia pun
diberi anugerah untuk bisa melahirkan keturunan. Bayangkan saja, andai
kakek-nenek kita tidak ada karena dibunuh baik tiba-tiba maupun
terencana, kita mungkin tidak akan hadir ke dunia karena nenek yang
seharusnya melahirkan orang tua kita, tidak bisa, dan akibatnya orang
tua kita pun tidak bisa melahirkan kita karena mereka pun tidak pernah
ada.
Kedua,
secara sistematis ada mekanisme berjamaah yang memungkinkan satu
perbuatan untuk menjadi masif. Artinya, ketika masing-masing individu
melakukan sesuatu, meskipun hal kecil namun jika dilakukan oleh setiap
orang, maka kita akan lihat semua orang melakukan hal yang sama. Jadilah
sebuah tindakan itu menjadi terstruktur, sistematis, dan masif *Kayak pernah denger? hehe
Dalam
hal ini penting adanya sebuah kepedulian dan positif thinking. Setiap
orang harus mau melakukan sesuatu, dan meyakini orang lain juga berbuat
demikian. Ketika misalnya, seseorang membunuh orang lain, lalu orang
lain melihat itu dan mencontohnya bisa jadi akan ada pembunuhan massal.
Meskipun saya sangat-sangat tidak berharap demikian.
Kelihatannya serem ya bahas bunuh-bunuhan *maklum keseringan nonton CSI di FoxCrime*
Baiklah, Itu tadi sekedar intermezzo, tentang efek masif yang berasal dari tindakan individu. Saya tidak akan membahas lebih lanjut soal bunuh-membunuh, karena saya percaya anda pun tidak tertarik melakukannya *semoga. hehe
Baiklah, Itu tadi sekedar intermezzo, tentang efek masif yang berasal dari tindakan individu. Saya tidak akan membahas lebih lanjut soal bunuh-membunuh, karena saya percaya anda pun tidak tertarik melakukannya *semoga. hehe
Tapi meskipun begitu, ada hubungannya juga dengan
apa yang akan saya bahas kali ini. Tentang membunuh, tapi bukan manusia
melainkan "membunuh" kebiasaan buruk melanggar aturan lalu-lintas.
Membunuh sehingga bisa memutus perkembangbiakanya dan segera punah.
Karena kalau dibiarin, lama-lama lalu-lintas yang berantakan ini bisa ngebunuh kita juga, means literaly benar-benar membunuh. Entah karena kecelakaan, atau karena mati stres ngelihat kelakuan orang-orang yang ngga karuan.
**
Pagi
hari, seperti layaknya di kota-kota lainnya, kita pasti akan menemukan
fenomena yang cukup menyita perhatian, yaitu kesibukan pagi hari di
jalan raya. Suara klakson bersahut-sahutan, kendaraan yang menyemut di
jalan, juga orang-orang yang lalu-lalang di penyeberangan. Hal yang
wajar kita lihat sehari-hari.
Namun, dibalik itu ada satu hal yang
juga sepertinya menjadi "hal wajar" dan biasa, saking biasanya sampai
kita sering tidak mempedulikannya. Apa itu? mari kita tengok keadaan
jalan raya hari ini, apa yang anda temukan? Saya kira tidak perlu
menjelaskannya karena sudah sama-sama tahu, betapa semrawut dan kacaunya
jalanan di kota-kota Indonesia kini.
Pada hakikatnya, normalnya,
pelanggaran adalah sebuah ketidakwajaran. Tapi kenapa ya seolah-olah
zaman sekarang ini yang tidak wajar itu justru adalah hal wajar.
Misalnya, adalah wajar ketika sekarang banyak wanita pakai rok mini
jalan-jalan, sampai-sampai motor pun ikutan pakai ban mini. Sedangkan
dulu hal itu sama sekali tidak wajar dan jarang ditemui.
Mungkin
beberapa orang akan beralasan Zaman dulu dan sekarang beda. Iya jelas
lah beda, kalau sama berarti waktu tidak berjalan. Oke, saya tidak ingin
memperdebatkan itu, yang ingin saya bahas adalah, terlepas beda antara
dulu dan sekarang; seharusnya ada satu hal yang mestinya jadi sesuatu
yang tetap dan bersifat universal, yaitu keteraturan.
Bukankah
kita senang ketika segala sesuatunya itu rapi, tertib, dan nyaman?
Sekacau-kacaunya orang pasti suka yang namanya ketertiban, preman aja
marah kalau anak buahnya ngga tertib, ngga mau nurut sama perintahnya.
Masa kita yang ngga kalah preman ini woles aja liat yang berantakan? Something must be wrong with you man...
"Kebohongan yang disampaikan terus-menerus akan menjadi sebuah kebenaran", entah siapa yang pertama kali mengeluarkan ide ini, tapi yang jelas ada benarnya. Kalau ditarik kedalam soal kewajaran ini, sesuatu yang tidak wajar jika dilakukan berulang-ulang maka akan jadi sesuatu yang wajar.
Lihat saja apapun yang awalnya aneh di dunia ini, karena sering diulang-ulang maka suatu saat ia akan jadi sesuatu yang wajar. Seperti kita yang dulu aneh ketika pertama kali selfie, sekarang malah paling rajin selfie sampai HP pun gonta-ganti memori.
Dulu sangat tidak wajar ketika orang melawan arus di jalan, tapi karena lama-lama makin banyak yang melakukan, seakan jadi wajar *setidaknya buat mereka yang melakukan
Menghernankan
ya, kenapa sebuah ketidakwajaran menjadi wajar? Sihir apa yang bisa
memungkinkan ini terjadi? Entahlah, mungkin kita bisa tanya analisisnya
ke Orang pintar macam Ki Joko Bodo, namun sayangnya beliau sudah tobat.
Jadi, kita tanya ke Orang Pintar lainnya, diri kita sendiri.
Sebenarnya,
diri kita paham dan tahu tentang hal ini, tentang lalu-lintas dengan
segala aturannya. Tapi entah kenapa ya, kok rasanya kita lebih sering
jadi orang bodoh dan tidak peduli. Kejam amat bahasanya? biarin.
Baiklah mungkin bukan tidak peduli, tapi kita peduli pada suatu hal
yang tidak seharusnya. Kita lebih peduli pada ketidaksukaan orang lain
dengan tindakan kita yang tertib, atau kita lebih peduli pada
kepentingan kita sendiri sehingga mengabaikan hak orang lain.
Berapa banyak yang jiper
ketika berhenti seketika lampu merah menyala, dan orang yang nyelonong
boy dibelakang nglakson? Kapan terakhir kali kita ingat belok kanan
dengan aman di pertigaan, kalau ngga diteriakin sama orang yang nyalip
dari kanan. Berapa banyak yang dibilang "anj**ng" gara-gara nglakson
orang yang melawan arus? Serius, saya sering mengalami itu, dan pengen
biang Go home, you're drunk bro..
Begitu banyaknya yang
melanggar aturan lalu-lintas, ibarat buih di lautan karena saking
banyaknya. Sampai-sampai saya mikir, apa pindah aja ya ke negara yang
lebih tertib? Apa jadi polantas aja ya biar bisa ngatur mereka-mereka
ini? atau haruskah gue jadi TNI biar disegani dan lebih mudah negur
mereka-mereka ini? Ah, mungkin itu cuma pikiran sesaat saja.
Untungnya
pagi ini saya menemukan sebuah tulisan yang cukup menarik, tentang
bagaimana negara lain mempunyai masyarakat yang tertib berlalu-lintas,
yaitu Jepang. Seorang ibu bercerita tentang pengalamannya mendampingi
anaknya bermain di Taman Lalu Lintas di Jepang. Di sana beliau menemukan
banyak hal dan membagikannya di forum Kompasiana. Berikut cupikannya:
"Heran gak sih lihat orang Jepang kok gampang banget di atur dan sangat tertib dalam berlalu lintas? Iya, saya juga heran dan geleng-geleng kepala. Jarang saya lihat orang Jepang yang pada ngebut di jalan raya, kepot sana kepot sini, sradak-sruduk, gak sabaran sama lampu merah, maju terus berani mati walau klenengan kereta api sudah teng tong teng tong tapi nyosor terus walau akhirnya berhenti di tengah rel karena macet, gak pakek lampu sen kalau mau belok, dan juga tan tin tan tin berisik pada klakson karena gak sabar, kenapa ya?" - Weedy Koshino
Sepanjang
membaca tulisan itu, kita akan sedikit tergelitik dan mungkin tertunduk
malu, melihat betapa jauhnya kita dibandingkan mereka dalam hal
ketertiban di jalan. Bagaimana mereka sabar berkendara dijalan, tanpa
klakson tanpa srudak-sruduk, dan tidak menerobos lampu merah.
- Enak kan kalau tertib gini?
Sebenarnya beda antara kita dan Jepang cuman satu: Kita melakukan apa yang mereka tidak lakukan.
Pengendara
Jepang sangat memeperhatikan lampu lalu-lintas, mereka tidak akan
sekali-sekali menerobos lampu merah sekalipun tidak ada kendaraan yang
melintas. Begitu juga dengan pejalan kaki, kalau belum waktunya untuk
nyebrang, mereka tidak akan nyebrang karena sudah ada jatahnya
masing-masing yang ditunjukkan lewat lampu indikator.
Kita akan
jarang meilhat polisi yang berdiri di jalan sambil bawa pentungan.
Memang sih, polisinya berdiri di ruangan sambil lihat CCTV, tapi coba
bukannya di kita juga ada CCTV toh ngga ngefek. *gimana mau ngefek,
orang jelas-jelas ada polisi aja ngelanggar, apalagi cuman sekedar CCTV
yang ngga "kerasa".
Ada suatu saat dimana seorang anak kecil ingin
melewati rel kereta api, tanda peringatan pun berbunyi dan dia seketika
berhenti dan mundur sampai di belakang garis batas antri. Padahal dia
sama sekali tidak didampingi orang tuanya, dan yang lebih salutnya lagi
itu adalah rel kereta bohongan dan sama sekali ngga ada kereta yang
bakal melintas. Kita mah boro-boro berhenti, kereta udah deket aja masih
nekat nerobos palang pintu, jadinya banyak kan kecelakaan melibatkan
Kereta Api. Kalau udah gitu siapa yang salah? Parahnya lagi, yang salah
ngotot ngga mau disalahin.
Demi terwujudnya sebuah keteraturan
memang perlu adanya ketegasan dan konsistensi baik dari penegak hukum
maupun kita sendiri. Biasanya tegas itu artinya ada hukumnya, ada
petugas yang negur kalau ada yang melanggar hukum, dan ada dendanya.
Kita semua paham itu. Tapi kenapa tidak kita temukan di negeri kita?
Padahal kurang lengkap apa hukum di kita, Undang-undang dari kapan tahun
yang njelimet dan kita pun takjub kalau ada yang sampai hafal, tulisan
dan peringatan dimana-mana menghiasi. Tapi sayang, tak berguna karena
kita salah menyikapinya. Kita bukan tidak bisa membaca tapi tidak mau
menyadari pesannya. Jadilah kita mengabaikannya.
Bisa jadi karena
petugasnya yang kurang tegas, kadang tidak adil juga mengegakkan
peraturannya, ngga konsisten. Ada yang benar-benar ditindak, ada yang
dibiarkan. Tapi bisa jadi salah kita juga, yang udah ngga mau ikut
aturan, ngasih kesempatan pula buat para petugas untuk tidak menjalankan
tugasnya. Jadi, sama-sama harus berbenah.
**
Tulisan ini
sengaja dibuat sebagai pengingat untuk diri sendiri, supaya tetap
istiqamah dan selalu belajar agar lebih tertib. Karena kalau kita
tertib, semua juga akan tertib. Kok bisa? Iya kalau setiap orang
berpikir dan bertindak yang sama, otomatis itu akan jadi sikap
berjamaah. Lihat saja dalam shalat, gerakannya sama karena setiap orang
melakukan yang seharusnya. Coba saja setiap orang nyeleneh, bakal kacau
tuh shalat berjamaah.
Kalau yang saya lihat, kenapa pengendara
Jepang bisa tertib, selain karena sudah dididik disiplin sejak kecil
juga karena dilatih peduli orang lain. Diri sendiri tertib, dan meyakini
orang lain tertib. Artinya mereka husnudzannya kuat, mereka melakukan
yang seharusnya dan berfikir bahwa orang lain juga melakukan demikian.
Mereka peduli akan aturan, sehingga memberi kesempatan bagi orang lain
untuk peduli aturan juga.
Beda dengan di Indonesia, kebalikannya
malah. Kenapa sih banyak yang melanggar? ya karena satu, bisa jadi
jarang sekali orang yang dari kecil dididik untuk tertib berlalu-lintas.
Kedua, karena ketika ada orang yang mau melanggar dia juga berfikir
"ah, orang lain juga pasti melanggar", jadilah pelanggaran berjamaah
*hiks
Kadang kesel juga, sempet mikir apa di rewind gitu aja ya
biar pada balik jadi bocah dan dilatih yang bener. Atau yang muda-muda
dikarantina dulu sampai jumlahnya lebih banyak dari yang tua, baru
dilepas ke jalan? "potong generasi" istilahnya. Memang solusinya harus
dididik sejak kecil.
Karena kalau udah dewasa, susahnya naudzubillah,
ibarat batu yang tidak bisa lagi dibentuk dan dirubah. Juga kadang
saling tular-menular, orang yang dari kecil udah dilatih tertib kadang
terpaksa melanggar juga, mendidik yang satu eh ketularan liat yang lain
melanggar.
Memang butuh perjuangan keras karena sudah terlanjur
"keruh" dengan yang tidak tertib, sampai-sampai yang tertib pun malah
jadi satu-satunya orang yang ngga tertib *tepokjidat *ironis
*nangisdarah
Tentu sebenarnya solusinya banyak sekali, tinggal kita mengambil
peran untuk menerapkan solusi yang mana. Karena saya bukan dari latar
belakang pemerintah dkk, maka saya kira yang bisa saya lakukan ya itu
tadi, mengedukasi dan melatih disiplin berlalu lintas di keluarga,
minimal dari diri sendiri. Sisanya, tugas para pejabat yang berwenang
untuk melengkapinya, seperti menegakkan aturan dengan tegas dan
konsisten, menyediakan sarana prasarana lalu-lintas yang baik dan
terawat, dan sebagainya.
Saya bukan siapa-siapa dan ngga punya
pengaruh apa-apa, tapi saya salut dan memberikan apresiasi yang besar
untuk mereka-mereka yang mau tertib dan peduli dengan mereka yang
berusaha tertib dengan ikut tertib juga dan mendukung mereka. Bukan
membully, mengintimidasi, seolah-olah salah padahal kite yang salah.
Semoga
celotehan singkat (singkat apanya??) ini ada manfaatnya, meskipun mustahil berharap
simsalabim besok pagi semuanya pada tertib. Minimal dari diri sendiri
sudah berusaha tertib, maka tidak lama semuanya juga akan tertib. Semua
akan indah pada waktunya kok #eaaa :')
#CelotehPagi
Cimahi, 11.10.2014 12.00 AM
Referensi:
- Belajar tertib Anak-anak Jepang di Taman Lalu-lintas (Kompasiana)
- Mengintip Tertib Berlalu Lintas Ala Jepang (Kompasiana)
- Kenapa Orang Jepang Taat Aturan Lalu Lintas (Japan Today - English)
No comments:
Post a Comment